Jumat, 20 Mei 2016

MAKALAH "METODE PENELITIAN ETNOGRAFI"

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar belakang
Memahami masyarakat merupakan upaya yang selalu menarik untuk dilakukan. Berbagai perspektif sudah ditawarkan, namun tak satupun mampu memberikan jawaban tuntas. Masing-masing perspektif selalu memberikan pemahaman yang parsial.
Di tengah-tengah kesenjangan perpektif seperti itulah etnografi hadir. Etnografi berusaha memberikan pemahaman tanpa distorsi, karena ia berangkat dari pemahaman budaya masyarakat yang ingin dipahami, bukan dari asumsi arbitrer para peniliti.
Di Indonesia, etnografi kurang dikenal oleh kalangan ilmuwan pada umumnya. Hanya mereka yang bergerak di ranah antropologi yang akrab dengan genre metode penelitian ini. Padahal, etnografi, sebagaimana ditegaskan oleh banyak penulis , bisa digunakan oleh semua bidang ilmu yang ada, apa pun genrenya.
Dengan tujuan memperkenalkan etnografi ke dunia di luar antropologi ( dengan tidak mengabaikan mereka yang berkecimpung dalam dunia antropologi ), maka kami merasa penting untuk membuat makalah ini. Tidak lain agar perkembangan ilmu di Indonesia tetap relevan dengan kepentingan manusia, bukan demi kepentingan ilmu itu sendiri.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah pengertian metode etnografi
2. Etnografi dan kebudayaan.
3. Membuat kesimpulan budaya.
4. Untuk apa etnografi itu?
5. Bahasa dan penelitian lapangan.
6. Metode dan tekhnik pengumpulan data










BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Etnografi
Etnografi berasal dari kata ethnos yang berarti bangsa atau suku bangsa, dan graphy yang berarti tulisan. Jadi, etnografi berasal dari tulisan atau deskripsi mengenai kehidupan soial budaya suatu suku bangsa. Spradley menyatakan bahwa etnografi adalah menjelaskan suatu kebudayaan. Adapun Spindler, menyatakan bahwa etnografi adalah kegiatan antropologi di lapangan. Lebih lanjut ia menyatakan apabila seorang antropolog tidak memiliki pengalaman lapangan, ibarat seorang ahli bedah tidak memiliki pengalaman membedah.
Etnografi, diinjau secara harfiah, berarti tulisan atau laporan tentang suatu suku bangsa, yang ditulis oleh seorang antropolog atas hasil penelitian lapangan ( field work ) selama sekian bulan, ataau sekian tahun. Penelitian antropologis untuk menghasilkan laporan tersebut begitu khas, sehingga kemudian istilah etnografi juga digunakan untuk mengacu pada metode penelitian untuk menghasilkan laporan tersebut.[1]
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa etnografi bukan sekedar mengumpulkan data tentang orang atau kebudayaan, melainkan menggalinya lebih dalam lagi.
Etnografi, baik sebagai laporan penelitian maupun sebagai metode penelititan, dapat dianggap sebagai dasar dan asal-usul ilmu antropologi. Kutipan-kutipan kalimat dari beberapa tokoh besar antropologi seperti di bawah ini akan meyakinkan kita tentang kebenaran pernyataan di atas.
Margaret mead berkata,” Anthropology as a science is entirely dependent upon field work records made by individuals within living societies ” ( Antropologi sebagai sebuah ilmu pengetahuan secara keseluruhan tergantung pada laporan-laporan kajian lapangan yang dilakukan oleh indiviu-individu dalam masyarakat-masyarakat yang nyata hidup )
James Spradley mengatakan bahwa “ Ethnograpic fieldwork is the hallmark of cultural anthropology “ ( Kajian lapangan etnografi adalah tonggak antropologi cultural ). Jadi singkatnya, belajar tentang etnografi berarti belajar tentang jantung dari ilmu antropologi, khususnya antropologi sosial.
Ciri-ciri khas dari metode penelitian lapangan etnografi ini adalah sifatnya yang holistic-integratif, thick description, dan analisis kualitatif dalam rangka mendapatkan native’points of view ( bersifat holistic atau menyeluruh ). Artinya, kajian etnografi tidak hanya mengarahkan perhatiannya pada salah satu variable tertentu saja. Bentuk holistic didasarkan pada pandangan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan system yang terdiri dari satu kesatuan yang utuh. Teknik pengumpulan data yang utama adalah observasi-partisipasi dan wawancara terbuka dan mendalam, yang dilakukan dalam jangka waktu yang relative lama, bukan kunjungan singkat dengan daftar pertanyaan yang terstruktur seperti pada penelitian survey.
Jadi, etnografi adalah upaya untuk mendeskripsikan kebudayaan. Kebudayaan baik secara implicit maupun secara eksplisit terungkap melalui bahasa. Bahasa merupakan alat utama untuk menyebarkan kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya yang ditulis dalam bentuk linguistic. Sehingga, dalam studi etnografi, ethnolinguistik berfungsi untuk menggali kebudayaan.

B. Etnografi dan Kebudayaan                                   
Penelitian lapangan merupakan cirri dari antropologi budaya. Baik disebuah desa di Papua Nugini maupun di jalan-jalan New York, ahli antropologi berada di tempat di mana penduduk tinggal dan “ melakukan penelitian lapang “.[2] Ini berarti dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan, menikmati berbagai masakan asing baginya, mempelajari bahasa baru, menyaksikan berbagai upacara, membuat catatan lapangan, mencuci pakaian, menulis surat kerumah, melacak garis keturunan , mengamati pertunjukkan, mewawancarai informan, dan berbagai hal lainya. Berbagai macam aktifitas ini seringkali mengaburkan tugas utama, yaitu melakukan penelitian etnografi. Makalah ini akan berusaha untuk menjelaskan tugas utama penelitian lapangan antropologi. Pada bagian ini kami akan berusaha menelusuri makna etnografi secara mendetail. Dan bagian berikutnya akan membahas bagaimana melakukan wawancara etnografi.
Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan. Tujuan utama aktifitas ini adalah memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli. Sebagaimana dikemukakan oleh oleh Malinowski, tujuan etnografi adalah memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangannya mengenai dunianya. Oleh karena itu, penelitian etnografi melibatkan aktifitas belajar mengenai dunia yang orang yang telah belajar melihat, mendengar, berpikir dan bertindak dengan cara-cara yang berbeda. Tidak hanya mempelajari masyarakat, lebih dari itu, etnografi berarti belajar dari masyarakat.
Inti dari etnografi adalah upaya memperhatikan makna tindakan dari kejadian yang menimpa orang yang ingin kita pahami. Beberapa makna ini terekspresikan na ini terekspresikan secara langsung dalam bahasa dan banyak diterima dan disampaikan hanya secara tidak langsung melaui kata dan perbuatan. Tetapi dalam setiap masyarakat, orang tetap menggunakan system makna yang kompleks ini untuk mengatur tingkah laku mereka, untuk memahami diri mereka sendiri dan untuk memahami orang lain., serta untuk memahami dunia di mana mereka hidup. System makna ini merupakan kebudayaan mereka, etnografi selalu mengimplikasikan teori kebudayaan.

C. Membuat Kesimpulan Budaya
Kebudayaan, sebagai pengetahuan yang dipelajari orang sebagai anggota dari suatu kelompok, tidak dapat diamati secara langsung. Orang-orang dimana mempelajari kebudayaan mereka dengan mengamati orang lain, mendengarkan mereka, dan kemudian membuat kesimpulan. Etnografer melakukan hal yang sama, yaitu dengan memahami hal yang dilihat dan didengarkan untuk menyimpulkan hal yang diketahui orang. Perbuatan ini meliputi pemikiran atas kenyataan/hal yang kita pahami atau atas hal yang kita asumsikan.anak-anak memperoleh kebudayaan mereka dari orang dewasa dan membuat kesimpulan mengenai berbagai aturan budaya untuk bertingkah laku, dengan kemahiran bahasa, proses belajar itu akan semakin cepat.[3]

Dalam melakukan kerja lapangan, etnografer membuat kesimpulan kebudayaan dari 3 sumber:
1.       Dari hal yang dikatakan orang
2.      Dari cara orang bertindak
3.      Dari berbagai artefak yang digunakan orang
Penting untuk diungkapkan bahwa mempelajari budaya yang eksplisit dengan menggunakan cara orang berbicara tidak menghilangkan perlunya kita membuat kesimpulan. Mempelajari budaya eksplisit hanya mempermudah tugas yang harus dilakukan
Bagaimanapun, sebagian besar kebudayaan terdiri atas pengetahuan implicit. Kita mengetahui semua berbagai hal sehingga kita tidak dapat menceritakan atau mengungkapkan secara langsung. Etnografer kemudian harus membuat kesimpulan mengenai hal yang diketahui orang dengan cara mendengarkan yang mereka katakan, dengan mengamati tingkah laku mereka, dan dengan mempelajari berbagai artefak dan manfaatnya. Dengan merujuk pada penemuan pengetahuan budaya yang implicit itu.
Seringkali etnografi menggunakan hal yang dikatakan oleh orang dalam upaya untuk mendeskripsikan budayaan mereka. Kebudayaan yang baik implicit maupun eksplisit terungkap melalui perkataan, baik dalam komentar sederhana maupun dalam wawancara panjang. Karena bahasa merupakan alat utama untuk menyebarkan kebudayaan dari Satu generasi ke generasi berkutnya, kebanyakan kebudayaan dituliskan dalam bentuk linguistic.
D. Untuk Apa Etnografi Itu?
Etnografi adalah suatu kebudayaan yang mempelajari kebudayaan lain. Etnografi merupkan suatu bangunan pengetahuan yang meliputi teknik penelitian, teori etnografi, dan berbagai macam deskripsi kebudayaan. Etnografi berulang kali bermakna untuk membangun suatu pengertian yang sistematik mengenai semua kebudayaan manusia dari perspektif orang yang telah mempelajari kebudayaan itu. Etnografi didasarkan pada asumsi berikut : pengetahuan dari semua kebudayaan sangat tinggi nilainya. Asumsi ini membutuhkan pengujian yang cermat. Untuk tujuan apa etnografer mengumpulkan informasi? Untuk alasan apakah kita berusaha menemukan apa yang harus diketahui orang untuk melintasi salju di kutub dengan kereta luncur yang ditarik dengan anjing, hidup di desa Malenesia yang jauh, atau bekerja diberbagai pencakar langit di New York? Siapa saja harus melakukan etnografi?[4]

1.Memahami Rumpun Manusia
Kita mulai dengan tujuan antropologi sosial, yaitu untuk mendeskripsikan dan menerangkan keteraturan serta berbagai variasi tingkah laku sosial. Mungkin gambaran paling menonjol dari manusia adalah divertasinya. Mengapa suatu rumpun ini menunjukkan suatu variasi semacam itu, menciptakan pola perkawinan yang berbeda, mengkonsumsi makanan yang berbeda, mempercayai tuhan yang berbeda?dsb.. jika kita harus memahami diversitas ini maka kita harus mulai dengan mendeskripsikannya secara hati-hati. Kebanyakan diversitas dalam rum harus memahami divertasi ini maka kita harus mulai dengan mendeskripsikannya secara hati-hati. Kebanyakan diversitas dalam rumpun manusia muncul, karena diversitas suatu generasi ke generasi berikutnya. Deskripsi kebudayaan, sebagai tugas utama dari etnografi, merupakan langkah pertama dalam memahami rumpun manusia.
Oleh karena itu, dalam pengertian yang paling umum, etnografi memberikan sumbangan secara langsung dalam deskripsi dan penjelasan keteraturan serta evaluasi dalam tingkah laku sosial manusia. Banyak ilmu sosial memiliki tujuan yang lebih terbatas. Dalam studi tingkah laku manapun, etnografi mempunyai peranan penting. Kita dapat mengidentifikasikan beberapa sumbangannya yang khas.
Menginformasikan teori-teori ikatan budaya. Masing-masing kebudayaan memiliki cara untuk melihat dunia. Kebudayaan memberikan kategori, tanda, dan juga mendefinisikan dunia dimana orang itu hidup. Kebudayaan mengandung berbagai asumsi mengenai sifat dasar realitas dan juga informasi yang spesifik mengenai realitas itu. Kebudayaan mencakup nilai-nilai yang menspesifikasikan hal yang baik, benar, dan bisa dipercaya.. apabila orang mempelajari kebudayaan, maka sanpai batas-batas tertentu dari terpenjara tanpa mengetahuinya. Para ahli antropologi mengatakan ha ini sebagai “ikatan budaya” ( culture bond ), yaitu hidup dalam realitas tertentu yang dipandang sebagai “ realitas “ yang benar.
Etnografi sendiri tidak lepas dari ikatan budaya. Namun, etnografi memberikan deskripsi yang mengungkapkan berbagai model penjelasan yang diciptakan oleh manusia. Etnografi dapat berperan sebagai penunjuk yang menunjukkan sifat dasar ikatan budaya teori-teori ilmu sosial.
Memahami masyarakat yang kompleks. Sampai sekarang ini, etnografi umumnya diturunkan ke berbagai kebudayaan kecil, non barat. Nilai untuk mempelajari masyarakat seperti ini sudah dapat diterima. Bagaimanapun, kita tidak banyak tahu tentang mereka, kita tidak dapat melakukan survey atau eksperimen, sehing etnografi tampaknya tepat. Tapi nilai etnografi dalam memahami kebudayaan kita sendiri sering kali diabaikan.[5]

E. Bahasa dan Penelitian Lapangan
Bahasa memegang peran penting dalam pengalaman manusia. Dalam membuat etnografi, bahasa menyusun catatan lapangan kita dan masuk kedalam setiap alisis dan wawasan . bahasa menyerap pertemuan kita dengan informan. Apapun yang pendekatan yang digunakan etnografer ( pengamatan terlibat,wawancara etnografis, mengumpulkan kisah-kisah kehidupan, campuran dari berbagai strategi) bahasa masuk kedalam setiap fase proses penelitian. Etnografer paling tidak dihadapkan pada dua bahasa ( bahasa mereka sendiri dan bahasa yang digunakan informan ). Jika kita membagi pekerjaan etnografi menjadi dua tugas utama, yaitu penemuan dan deskripsi, maka kita dapat melihat dengan jelas peran penting yang dimainkan oleh bahasa.

1. Bahasa dan Penemuan
Bahasa lebih dari sekedar alat mengkomuniaksikan realitas, bahasa merupakan alat menyusun realitas. Bahasa yang berbeda menciptakan dan mengekspresikan realitas yang berbeda. Bahasa yang berbeda memberikan pola-pola alternative untuk berpikir dan memahami. Dalam upaya untuk menemukan realitas budaya suatu kelompok penduduk tertentu, etnografer menghadapi satu pertanyaan penting; Bahasa apa yang akan saya gunakan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan mencatat makna-makna yang saya temukan? Jawaban atas pertanyaan ini mempunyai implikasi yang sangat dalam bagi seluruh perkerjaan etnografis.
Karena etnografi pada mulanya dilakukan terhadap masyarakat non-Barat, maka mempelajari bahasa penduduk asli menduduki proriotas tertinggi. Mempelajari bahasa menjadi dasar dari penelitian lapangan. Mempelajari bahasa merupakan langkah paling awal dan penting utuk mencapai tujuan utama etnografi mendeskripsikan suatu kebudayaan dengan batasan-batasan sendiri.

2. Bahasa dan Deskripsi Etnografi
Hasil akhir dari pembuatan etnografi adalah suatu deskripsi verbal mengenai situasi budaya yang dipelajari. Bahkan film-film etnografi tidak mendeskripsikan tanpa berbagai statemen verbal yang memberitahu penonton hal-hal yang dapat dilihat orang yang difilmkan dan bagaimana mereka dapat menginterpretasikan suasana yang disajikan.
Oleh karena itu, deskripsi etnografi, tak dapat disangkal lagi melibatkan bahasa. Etnografer biasanya menulis dalam bahasa asli yang digunakannya atau dalam bahasa khalayak khususnya seperti mahasiswa, ahli, atau masyarakat umum. Tapi, bagaimana mungkin mendeskripsikan suatu budaya dalam istilah-istilahnya sendiri sementara menggunakan bahasa asing? Jawabannya terletak pada kenyataan bahwa setiap deskripsi etnografi merupakan suatu terjemahan. Demikianlah deskripsi etnografi harus menggunakan istilah-istilah asli ( native ) dan makna-maknanya juga menggunakan istilah yang digunakan oleh etnografer.

F. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Fase terpenting dari peneltian adalah pengumpulan data. Pengumpulan data tidak lain dari suatu proses pengadaan data untuk keperluan penelitian. Mustahil peneliti dapat menghasilkan temuan, kalau tidak memperoleh data.
Metode pengumpulan data sangat erat hubungannya dengan masalah penelitian yang ingin dipecahkan. Masalah memberi arah dan mempengaruhi penentuan metode pengumpulan data. Banyak masalah yang telah dirumuskan tidak dapat dipecahkan dengan baik, karena metode untuk memperoleh data yang diperlukan tidak dapat menghasilkan data seperti yang diinginkan.[6]
Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa metode adalah cara kerja yang bersistem (teratur) untuk mempermudah suatu kegiatan, atau untuk mencapai suatu hasil yang sudah ditentukan. diantara Metode yang cocok untuk studi etnografi antara lain :

1. Metode observasi/ pengamatan
Observasi dalam kamus besar Bahasa Indonesia berarti pengamatan atau peninjaun secara cermat. Metode observasi disebut juga metode pengamatan lapangan. Margono (2005:158) mengungkapkan bahwa, observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian.
Metode observasi dalam paradigma kualitatif penting untuk memahami latar belakang dengan fungsi yang berbeda-beda antara yang objektif, yang interpretif interaktif, dan yang interpretif grounded.[7]
Pada metode ini pengumpulan data dilakukan dengan mencatat semua kejadian atau fenomena yang diamatai ke dalam catatan lapangan ( field notes ).

a. Jenis-jenis metode pengamatan
Ada empat macam jenis pengamatan, yaitu :
1. Pengamatan biasa
Pengamatan yang dilakukan tanpa terlibat atau kontak langsung dengan informan yang menjadi sasaran penelitiannya.



2. Pengamatan terkendali
Konsepnya hampir sama dengan pengamatan biasa. Akan tetapi perbedaanya pada metode ini peneliti terlebih dahulu memilih secara khusus calon informan sehingga mudah untuk diamati.
3. Pengamatan terlibat
Atau bisa disebut pengamatan partisipasi, yaitu metode di mana selain mengamati, peneliti juga ikut terlibat dalam kegiatan yang berlangsung serta mengadakan hubungan emosional dan soial dengan para informannya. Metode yang dalam bahasa Jerman disebut “verstehen” ini merupakan metode paling umum digunakan dalam penelitian etnografi.
4. Pengamatan penuh
Yaitu penelitian mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang sedang diteliti. Peneliti sudah diterima dan masuk ke dalam struktur masyarakat yang diamatinya. Dalam kondisi seperti ini, peneliti dapat dengan mudah bergaul.

b. Kelebihan dan Kekurangan Metode Pengamatan/ Observasi
Adapun kelebihan dan kekurangan metode observasi adalah :
1.      Kelebihan observasi antara lain :[8]
a.       Peneliti mengetahui kejadian sebenarnya sehingga informasinya diperoleh langsung dan hasilnya akurat.
b.      Peneliti dapat mencatat kebenaran yang sedang terjadi.
c.       Peneliti dapat memahami subtansi sehingga ia dapat belajar dari pengalaman yang sulit dilupakan.
d.      Memudahkan peneliti dalam memahami perilaku yang kompleks.
e.       Bagi informan yang tidak memiliki waktu masi bisa memberikan kontribusi dengan mengijinkan untuk diobservasi.
f.       Observasi memungkinkan pengumpulan data yang tidak mungkin dilakukan oleh teknik lain.

2.      Kekurangan observasi antar lain :
a.       Memakan waktu yang lama
b.      Tergantung pada kepiawaian pengamat. Kalau pengamatnya kurang kualified dapat menimbulkan bias dan data bisa terdistori.
c.       Observer apalagi yang dikenal dan disegani bisa mempengaruhi perilaku partisipan sehingga situasinya bisa menjadi dibuat-buat dan kaku.
d.      Observer yang berperanserta kurang memiliki waktu untuk membuat catatan hasil pengamatannya.
e.       Menghasilkan data yang banyak dan kadang tidak sistematis sehingga menyulitkan peneliti untuk menganalisisnya.

c. Prinsip-prinsip pengamatan
Beberapan prinsip yang harus diperhatikan oleh para peneliti sebelum mengadakan pengamatan, antara lain :
• Pengamatan harus dilakukan secara cermat, jujur, objectife, serta terfokus.
• Mempertimbangkan luas-tidaknya objek yang diteliti. Yang perlu diingat adalah semakin banyak objek yang diamati, maka pengamatan semakin sulit dilakukan.
• Menentukan cara dan prosedur pengamatan terlebih dahulu.
• Merencanakan apa saja yang akan dicatat serta bagaimana cara membuat catatan pengamatan.

2. Metode wawancara
Wawancara etnografi merupakan jenis peristiwa percakapan (speech event) yang khusus. Metode wawancara merupakan metode untuk memperoleh data dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada informan.
a. Jenis-jenis Wawancara
1.      Wawancara berencana, yaitu wawancara yang dilaksanakan melalui teknik-teknik tertentu, antara lain menyusun sejumlah pertanyaan sedemikian rupa dalam bentuk angket questioner.
2.      Wawancara tidak berencana, yaitu wawancara yang tidak direncanakan secara sistematis dan tidak menggunakan pedoman wawancara. Wawancara ini dilaksanakan untuk memperoleh tanggapan tentang pandangan hidup, system keyakinan, atau keagamaan.
Metode wawancara tidak berencana masih terbagi lagi menjadi 2 macam yaitu :
a. Wawancara terfokus (focused interview), yaitu terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang tidak berstruktur, tetapi terpusat pada satu pokok.
b. Wawancara bebas (free interview), yaitu pertanyaan yang tidak terpusat, melainkan dapat berpindah-pindah pokok pertanyaan.

Adapun jika dilihat dari bentuk pertanyaannya, kedua wawancara di atas dapat dibagi lagi menjadi 2 kategori yaitu :

1. Wawancara tertutup, yaitu terdiri dari berbagai pertanyaan yang jawabannya terbatas. Terkadang pilihan jawaban hanya berbentuk “ya” dan “tidak”.
2. Wawancara terbuka, yaitu pertanyaan yang jawabannya berupa keterangan atau cerita yang luas.

b. Kelebihan dan Kekurangan Metode wawancara :
1.      Kelebihannya antara lain :
a.        Data yang diperoleh sesuai dengan harapan dan tujuan peneliti.
b.      Dapat memperoleh data yang sifatnya pribadi.
c.       Akan terjadi hubungan yang baik (rapport) antara pewawancara dengan yang diwawancarai.

2.      Kelemahannya antar lain :
a.       Memerlukan waktu yang cukup lama.
b.      Memerlukan biaya yang cukup besar.
c.       Sulit mencari waktu yang tepat untuk mengadakan wawancara.

c. Teknik Bertanya dalam Wawancara
Seorang peneliti dalam melakukan wawancara, baik yang sifatnya tertutup maupun terbuka, harus memperhatikan beberapa ketentuan berikut :
1.      Menghindari kata-kata yang mempunyai dua arti kata atau lebih.
2.      Menghindari pertanyaan-pertanyaan panjang.
3.  Membuat pertanyaan sekonkrit mungkin dengan penunjuk waktu dan lokasi yang konkret  pula.
4.      Mengajukan pertanyaan yang mengenai pengalaman konkret informan.
5.      Membatasi alternative jawaban. Hal ini dilakukan agar informan tidak bingung dan dapat menjawab peratanyaan dengan baik.
6.      Dalam wawancara tentang hal-hal yang membuat informan canggung dan malu, peneliti hendaknya menghaluskan beberapa istilah.

d. Tahapan Wawancara
Dalam melakukan wawancara, peneliti harus memahami terlebih dahulu beberapa tahapan yang harus dilaui. Hal ini bertujuan untuk agar ketika peneliti terjun kelapangan untuk mengadakan wawancara, peneliti tidak canggung sehingga proses wawancara dapat berjalan lancar. Beberapa tahapan yang harus dilalui antara lain :
1.      Tahap persiapan
Pada tahap ini, pewawancara menyeleksi terlebih dahulu informan, kemudian mengadakan pendekatan terhadap individu yang telah diseleksi, serta membina komunikasi yang baik dengan tujuan agar informan bersedia menjwab dengan jujur, objektif, kooperatif, dan memberikan informasi sebanyak-banyaknya.
2.      Tahap pelaksanaan
Ketika akan memulai wawancara, peneliti hendaknya menjelaskan identitas pribadi, maksud dan tujuan wawancara, serta sifat wawancara (rahasia atau tidak).
3.      Tahap Pencatatan
Pencatatan data wawancara dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu :
a.       Pencatatan langsung pada saat wawancara.
b.      Pencatatan dengan ingatan.
c.       Pencatatan dengan alat perekam.
d.      Pencatatan dengan field rating.
e.       Pencatatan dengan field coding.







  


BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Etnografi, diinjau secara harfiah, berarti tulisan atau laporan tentang suatu suku bangsa, yang ditulis oleh seorang antropolog atas hasil penelitian lapangan ( field work ) selama sekian bulan, ataau sekian tahun. Penelitian antropologis untuk menghasilkan laporan tersebut begitu khas, sehingga kemudian istilah etnografi juga digunakan untuk mengacu pada metode penelitian untuk menghasilkan laporan tersebut.
Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan. Tujuan utama aktifitas ini adalah memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli. Sebagaimana dikemukakan oleh oleh Malinowski, tujuan etnografi adalah memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangannya mengenai dunianya. Oleh karena itu, penelitian etnografi melibatkan aktifitas belajar mengenai dunia yang orang yang telah belajar melihat, mendengar, berpikir dan bertindak dengan cara-cara yang berbeda. Tidak hanya mempelajari masyarakat, lebih dari itu, etnografi berarti belajar dari masyarakat.
Etnografi adalah suatu kebudayaan yang mempelajari kebudayaan lain. Etnografi merupkan suatu bangunan pengetahuan yang meliputi teknik penelitian, teori etnografi, dan berbagai macam deskripsi kebudayaan.
Selain menggunakan metode observasi partisipasi dan wawancara, studi etnografi juga dapat dilakukan melalui fieldwork sendiri dalam waktu yang cukup lama. Dalam studi etnografi, istilah bagi orang yang diwawancarai oleh antropolog adalah informan kerena fungsinya sebagai pemberi informasi mendalam (depth interview) dalam pertanyaan terbuka.
Bahasa memegang peran penting dalam pengalaman manusia. Dalam membuat etnografi, bahasa menyusuan catatan lapangan kita dan masuk kedalam setiap alisis dan wawasan . bahasa menyerap pertemuan kita dengan informan.




DAFTAR PUSTAKA

Spradley, James.P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta : Tiara Wacana Yogyakarta
Mulyana, Deddy. 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung :PT. Remaja Rosdakarya
Satori, Djam’an, Komariah Aan. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Cv. Alfabeta.
Muhadjir, Neong. 2011. .Metodologi Penelitian Paradigma Positivisme Objektif. Yogyakata : Penerbit Rake Sarasin.
Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT. Rineka Cipta.



[1] James P.Spradley, metode etnografi (Jakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 1997), hlm. Xv
[2] Lihat Morries Frellich (1970), solon T. Kimball & James B. Watson (1972), dan George Spindler (1970) Untuk tulisan mengenai penelitian lapangan.
[3] James P.Spradley, metode etnografi (Jakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 1997), hlm. 10
[4] James P.Spradley, metode etnografi (Jakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 1997), hlm. 13
[5] James P.Spradley, metode etnografi (Jakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 1997), hlm 17
[6] Djam’an satori, Aan Komariah, Metodologi penelitian kualitatif, Cv Alfabeta Bandung 2014. Hal 103.
[7] Neong Muhadjir, Metodologi penelitian,Penerbit Rake Sarasin 2011. Hal 351.
[8] Djam’an satori, Aan Komariah, Metodologi penelitian kualitatif, Cv Alfabeta Bandung 2014. Hal 125.

MAKALAH “PENDIDIKAN PADA MASA BANI UMAYYAH”

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Islam adalah Agama yang yang menempatkan pendidikan pada posisi yang sangat vital. Disamping itu pesan-pesan Al-Quran dalam hubungannya dengan pendidikan dapat dijumpai dalam berbagai ayat dan surat dengan berbagai ungkapan dan pernyataan. Lebih khusus lagi kata ‘ilmi digunakan paling dominan dalam Al-Quran untuk menunjukan perhatian Islam yang luar biasa terhadap pendidikan. Pendidikan Islam tumbuh dan berkembang seiring denga tumbuh dan berkembangnya Islam. Pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari sejarah Islam itu sendiri.
Sejarah pendidikan Islam pada hakekatnya sangat berkaitan erat dengan sejarah Islam. Periodesassi pendidikan Islam selalu berada dalam periode sejarah Islam itu sendiri. Secara garis besarnya Harun Nasution membagi sejarah Islam ke dalam tiga periode. Yaitu periode Klasik, Pertengahan dan Modern.  Kemudian perinciannya dapat dibagi lima periode, yaitu: Periode Nabi Muḥammad Ṣalallahu ‘alaihi wa sallam (571-632 M), periode Khulafā ar-Rasyidin (632-661 M), periode kekuasaan Daulah Bani Umayyah (661-750 M), periode kekuasaan ‘Abbāsyiyyah (750-1250 M) dan periode jatuhnya kekuasaan khalifah di Baghdad (1250-sekarang).[1]
Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam makalah yang sederhana ini penulis mencoba untuk memaparkan tentang pola pendidikan Islam pada masa Bani Umayyah. Semogai dapat memberikan manfaat dan menambah wawasan pengetahuan kita semua khususnya tentang sejarah pendidikan Islam.





B.     RUMUSAN MASALAH

1.      Bagaimana proses pendidikan Islam pada masa khilafah Bani Umayyah
2.      Bagaimana gambaran Pendidikan islam pada masa Bani Umayyah

C.     TUJUAN PENULISAN

1.      Memahami proses pendidikan Islam pada masa khilafah Bani Umayyah
2.      Memahami gambaran pendidikan Islam pada masa Bani Umayyah















BAB II
PEMBAHASAN

A.    SEJARAH  BANI UMAYYAH
Dinasti Bani Umayyah adalah kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Muawiyah bin Abi sufyan pada tahun 41 H/661 M. Tahun ini disebut dengan 'Aam al-Jamā'ah karena pada tahun ini semua umat Islam sepakat atas ke-khalifahan Muawiyah dengan gelar Amir al-Mu'minīn. Setelah Muawiyah diangkat menjadi khalifah, sistem pemerintahannya berubah menjadi monarchiheridetis (Kerajaan turu temurun).
Muawiyah bin Abi Sufyan adalah pendiri Dinasti Bani Umayyah yang berasal dari suku Quraisy keturunan Bani Umayyah yang merupakan khalifah pertama dari tahun 661-750 M, nama lengkapnya ialah Muawiyah bin Abi Harb bin Umayyah bin ‘Abdi Syam bin Manaf. Muawiyah lahir 4 tahun menjelang Nabi Muḥammad Ṣalallahu ‘alaihi wa sallam menjalankan dakwah Islam di kota Makkah, ia beriman dalam usia muda dan ikut hijrah bersama Nabi Ṣalallahu ‘alai wasallam ke Yastrib.  Disamping itu termasuk salah seorang pencatat waḥyu, dan mengambil bagian dalam beberapa peperangan bersama Nabi Ṣalallahu ‘alihi wa sallam.[2]
Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun. Ibu kota negara dipindahkan Muawiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat ia berkuasa sebagai gubernur sebelumnya. Khalifah-khalifah besar dinasti Bani Umayyah ini adalah Muawiyah bin Abī Sufyān (661-680 M), ‘Abd al-Malik bin Marwān (685-705 M), Al-Wālid bin ‘Abd al-Mālik (705-715 M), ‘Umār bin ‘Abd al-‘Azīz (717-720 M), dan Hisyam bin ‘Abd al-Mālik (724-743 M).[3]
Menurut catatan sejarah dinasti Bani Umayyah ini terbagi menjadi dua periode, yaitu :
1. Dinasti Bani Umayyah I di Damaskus (41 H/661 M-132 H/750 M), dinasti ini berkuasa kurang lebih selama 90 tahun dan mengalami pergantian pemimpin sebanyak 14 kali. Diantara khalifah besar dinasti ini adalah Muawiyah bin Abī Sufyān (661-680 M), ‘Abd al-Mālik bin Marwān (685-705 M), Al-Wālid bin ‘Abd al-Mālik (705-715 M), ‘Umār bin ‘Abd al-‘Azīz (717-720 M), dan Hisyām bin ‘Abd al-Mālik (724-743 M). Pada tahun 750 M, dinasti ini digulingkan oleh dinasti ‘Abbasiyah.
2. Dinasti Bani Umayyah II di Andalus/Spanyol (755-1031 M), kerajaan Islam di Spanyol ini didirikan oleh ‘Abd al-Rahmān  al-Dākhil. Ketika Spanyol berada di bawah kekuasaan Dinasti Bani Umayyah  II ini, umat Islam Spanyol mulai memperoleh kemajuan-kemajuan. Terutama pada masa kepemimpinan ‘Abd al-Rahmān al- Ausāṭ, pendidikan Islam menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Hal ini desebabkan karena sang khalifah sendiri terkenal sebagai penguasa yang cinta ilmu. Ia mengundang para ahli dari dunia Islam lainnya ke Spanyol sehingga kegiatan ilmu pengetahuan di sana menjadi kian semarak.[4]
Pada Dinasti Bani Umayyah perluasan daerah Islam sangat luas sampai ke timur dan barat. Begitu juga dengan daerah Selatan yang merupakan tambahan dari daerah Islam di zaman Khulafā ar-Rāshidīn yaitu: Hijāz, Syiria, Iraq, Persia dan Mesir. Seiring dengan itu pendidikan pada priode Dinasti Bani Umayyah telah ada beberapa lembaga seperti: Kuttāb, Masjid dan Majelis Sastra.  Materi yang diajarkan bertingkat-tingkat dan bermacam-macam.  Metode pengajarannya pun tidak sama.  Sehingga melahirkan beberapa pakar ilmuan dalam berbagai bidang tertentu.[5]
B.     LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM PADA PRIODE DINASTI BANI UMAYYAH
Pada masa Dinasti Bani Umayyah pola pendidikan bersifat desentrasi. Desentrasi artinya pendidikan tidak hanya terpusat di Ibu Kota Negara saja tetapi sudah dikembangkan secara otonom di daerah yang telah dikuasai seiring dengan ekspansi teritorial. Sistem pendidikan ketika itu belum memiliki tingkatan dan standar umur.[6]
Pola pendidikan Islam pada periode dinasti Bani Umayyah telah berkembang bila dibandingkan pada masa Khulafā ar-Rāshidīn yang ditandai dengan semaraknya kegiatan ilmiah di masjid-masjid dan berkembangnya Khuttāb serta Majelis Sastra. Jadi tempat pendidikan pada periode dinasti Bani Umayyah diantaranya adalah:

1. Khuttab
Khuttāb atau maktāb berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis atau tempat menulis, jadi Khuttāb adalah tempat belajar menulis. Khuttāb merupakan tempat anak-anak belajar menulis dan membaca, menghafal Al-Quran serta belajar pokok-pokok ajaran Islam. Sebelum datangnya Islam kuttāb telah ada di negeri Arab. Sewaktu agama Islam diturunkan Allah ta’āla, sudah ada diantara para Ṣahabat yang pandai tulis baca. Kemudian tulis tersebut ternyata mendapat tempat dan dorongan yang kuat dalam Islam, sehingga berkembang luas dikalangan umat Islam. Karena tulis baca semakin terasa perlu, maka kuttāb sebagai tempat belajar menulis dan membaca terutama bagi anak-anak berkembang pesat. Pada mulanya, di awal perkembangan Islam kuttāb tersebut dilakukan di rumah guru-guru yang bersangkutan dan yang diajarkan adalah semata-mata menulis dan membaca. Sedangkan yang ditulis atau dibaca adalah sya’ir-sya’ir yang terkenal pada masanya.[7]
Kemudian pada akhir abad pertama Hijriyah mulai timbul jenis kuttāb yang disamping memberi pelajaran menulis dan membaca, juga mengajarkan membaca Al-Quran dan pokok-pokok ajaran Agama. Pada mulanya kuttāb jenis ini merupakan pemindahan dari pengajaran Al-Quran yang berlangsung di masjid dan bersifat umum bukan saja bagi anak-anak, tetapi terutama bagi orang dewasa. Anak-anak ikut pengajian didalamnya, tetapi karena mereka tidak dapat menjaga kesucian dan kebersihan masjid, maka diadakan tempat khusus di samping masjid. Selanjutnya berkembanglah tempat-tempat khusus untuk pengajaran anak-anak dan berkembanglah kuttāb-kuttāb yang bukan hanya mengajarkan Al-Quran, tetapi juga pengetahuan-pengetahuan dasar lainnya. Dengan demikian kuttāb berkembang menjadi lembaga pendidikan dasar yang bersifat formal.
Adapun cara yang dilakukan oleh pendidik disamping mengajarkan Al-Quran mereka juga belajar menulis dan tata bahasa serta tulisan.  Perhatian mereka bukan tertumpu mengajarkan Al-Quran semata dengan mengabaikan pelajaran yang lain, akan tetapi perhatian mereka pada pelajaran sangat pesat.  Al-Quran dipakai sebagai bahasa bacaan untuk belajar membaca, kemudian dipilih ayat-ayat yang akan ditulis untuk dipelajari. Disamping belajar menulis dan membaca murid-murid juga mempelajari tata bahasa Arab, cerita-cerita Nabi, hadist dan pokok Agama.[8]
2.Masjid
Semenjak zaman Nabi Muḥammad Ṣalallāhu ‘alaihi wa sallam masjid telah menjadi pusat kegiatan dan informasi berbagai masalah kehidupan kaum muslimin. Ia menjadi tempat bermusyawarah, tempat mengadili perkara, tempat menyampaiakan penerangan agama, dan tempat menyelenggarakan pendidikan, baik untuk anak-anak atau orang dewasa. Kemudian pada masa khalifah Bani Umayyah berkembang fungsinya sebagai tempat pengembangan ilmu pengetahuan, terutama yang bersifat keagamaan.[9]
Pada Dinasti Bani Umayyah, Masjid merupakan tempat pendidikan tingkat menengah dan tingkat tinggi setelah khuttāb. Pelajaran yang diajarkan meliputi Al-Quran, Tafsir, Hadist dan Fiqih, Juga diajarkan sajak, gramatika bahasa, ilmu hitung dan ilmu perbintangan.
Diantara jasa besar pada periode Dinasti Bani Umayyah dalam perkembangan ilmu pengetahuan adalah menjadikan masjid sebagai pusat aktifitas ilmiah termasuk sya’ir, sejarah bangsa terdahulu diskusi dan akidah. Pada periode ini juga didirikan masjid ke seluruh pelosok daerah Islam. Masjid Nabawi di Madinah dan Masjidil Haram di Makkah selalu menjadi tumpuan penuntut ilmu di seluruh dunia Islam dan tampak juga pada pemerintahan Wālid bin ‘Abd al-Mālik (707-714 M) yang merupakan Universitas terbesar dan juga didirikan masjid Zaitunnah di Tunisia yang dianggap Universitas tertua sampai sekarang.[10]
3. Majelis Sastra
Majelis sastra adalah suatu majelis khusus yang diadakan oleh khalifah untuk membahas berbagai macam ilmu pengetahuan. Majelis sastra merupakan balai pertemuan yang disiapkan oleh khalifah dihiasi dengan hiasan yang indah, hanya diperuntukkan bagi sastrawan dan ulama terkemuka. Majelis ini bermula sejak zaman Khulafa ar-Rāsyidīn yang biasanya memberikan fatwa dan musyawarah serta diskusi dengan para Ṣahabat untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi pada masa itu. Tempat pertemuan pada masa itu adalah di masjid. Setelah masa khalifah Bani Umayyah, tempat majelis tersebut dipindah ke istana, dan orang-orang yang berhak menghadirinya adalah orang-orang tertentu saja yang diundang khalifah. Dalam majelis sastra tersebut bukan hanya dibahas dan didiskusikan masalah-masalah kesastraan saja, melainkan juga berbagai macam ilmu pengetahuan dan berbagai kesenian.[11]
4. Pendidikan Istana
Yaitu pendidikan yang diselenggarakan dan diperuntukkan khusus bagi anak-anak khalifah dan para pejabat pemerintahan. Kurikulum pada pendidikan istana diarahkan untuk memperoleh kecakapan memegang kendali pemerintahan atau hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan keperluan dan kebutuhan pemerintah.[12]
Timbulnya pendidikan Istana untuk anak-anak para pejabat adalah berdasarkan pemikiran bahwa pendidikan harus bersifat menyiapkan anak didik agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya kelak setelah ia dewasa. Oleh karena itu, mereka memanggil guru-guru khusus untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak mereka.
Pendidikan anak di istana berbeda dengan pendidikan anak di kuttāb pada umumnya. Di istana orang tua murid (para pembesar di istana) adalah yang membuat rencana pelajaran tersebut selaras dengan tujuan yang dikehendaki oleh oranng tuanya. Guru yang mengajar di istana disebut muaddib, karena berfungsi mendidik budi pekerti dan mewariskan kecerdasan dan pengetahuan kepada anak-anak pejabat.[13]
5. Pendidikan Badiah (padang pasir, dusun tempat tinggal Baduwi)
Yaitu tempat belajar bahasa Arab yang fasih dan murni. Hal ini terjadi ketika khalifah ‘Abd al-Mālik bin Marwān memprogramkan Arabisasi maka muncul istilah badiah, yaitu dusun baduwi di padang Sahara mereka masih fasih dan murni sesuai dengan kaidah bahasa arab tersebut.[14]
Sehingga banyak khalifah yang mengirimkan anaknya ke badiah untuk mempelajar bahasa Arab yang fasih lagi murni. Banyak ulama-ulama dan ahli ilmu pengetahuan lainnya yang pergi ke badiah dengan tujuan untuk mempelajari bahasa dan kesastraan Arab yang asli lagi murni. Badiah-badiah tersebut lalu menjadi sumber ilmu pengetahuan terutama bahasa dan sastra Arab dan berfungsi sebagai lembaga pendidikan Islam.[15]
6. Pendidikan Perpustakaan
Pada zaman perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam, buku mempunyai nilai yang sangat tinggi. Buku merupakan sumber informasi berbagai macam ilmu pengetahuan yang ada dan telah dikembangkan oleh para ahlinya. Orang dengan mudah dapat belajar dan mengajarkan ilmu pengetahuan yang telah tertulis dalam buku. Dengan demikian buku merupakan sarana utama dalam usaha pengembangan dan penyebaran ilmu pengetahuan.[16]
7. Rumah Sakit
Pada zaman kejayaan perkembanagan kebudayaan Islam dalam rangka menyebarkan kesejahteraan dikalangan umat Islam, maka banyak didirikan rumah sakit oleh khalifah dan pembesar-pembesar Negara. Rumah sakit tersebut bukan hanya berfungsi sebagai tempat merawat dan mengobati orang sakit, tetapi mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan dengan perawatan dan pengobatan. Mereka mengadakan berbagai penelitian dan percobaan dalam bidang kedokteran dan obat-obatan, sehingga berkembang ilmu kedokteran dan ilmu obat-obatan atau farmasi. Rumah sakit ini juga merupakan tempat praktikum dari sekolah kedokteran yang didirikan di luar rumah sakit atau di dalam rumah sakit, sehingga rumah sakit dalam dunia Islam juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan.
Cucu Muawiyah Khalīd bin Yazīdh sangat tertarik pada ilmu kimia dan kedokteran. Ia menyediakan sejumlah harta dan memerintahkan para sarjana yunani yang ada di Mesir untuk menerjemahkan buku kimia dan kedokteran ke dalam bahasa arab. Hal ini menjadi terjemahan pertama dalam sejarah sehingga al-Wālid bin ‘Abd al-Mālik memberikan perhatian terhadap rumah sakit.[17]

C.     PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA BANI UMAYYAH
Pada zaman Bani Umayyah ada tiga gerakan yang berkembang, yaitu : Gerakan Ilmu Agama, karena didorong semangat agama sendiri yang sangat kuat pada waktu itu; Gerakan Filsafat, karena ahli agama di akhir Bani Umayyah mempergunakan filsafat untuk melawan Yahudi dan Naṣrani; Gerakan Sejarah, karena ilmui-ilmu agama memerlukan riwayat.
A.    GERAKAN ILMU AGAMA
Gerakan di dalam bidang ini dapat dipisahkan menjadi beberapa bagian, yaitu :
1. Pusat pendidikan Islam
Perluasan negara Islam bukanlah perluasan dengan merobohkan dan menghancurkan, bahkan perluasan dengan teratur diikuti oleh ulama-ulama dan guru-guru agama yang turut bersama-sama tentara Islam. Pusat pendidikan telah tersebar di kota-kota besar sebagai berikut: di kota Makkah dan Madinah (Hijaz), di kota Baṣrah dan Kufah (Irak), di kota Damsyik dan Palestina (Syam), di kota Fistat (Mesir).
Madrasah-madrasah yang ada pada masa Bani Umayyah adalah sebagai berikut:
a. Madrasah Makkah: Guru pertama yang mengajar di Makkah sesudah penduduk Makkah takluk ialah Mu’ādh bin Jabal. Ialah yang mengajarkan Al-Quran dan mana yang halal dan haram dalam Islam. Pada masa khalifah ‘Abd al-Mālik bin Marwān ‘Abdullah  bin Abbās pergi ke Makkah, lalu mengajar disana di Masjidil Harām. Ia mengajarkan tafsir, fiqh dan sastra. ‘Abdullah  bin Abbāslah pembangun madrasah Makkah yang termasyhur di seluruh negeri Islam.
b. Madrasah Madinah: Madrasah Madinah lebih termasyhur dan lebih dalam ilmunya, karena di sanalah tempat tinggal Ṣahabat-Ṣahabat Nabi Ṣalāllahu ‘alaihi wa sallam. Berarti disana banyak terdapat ulama-ulama terkemuka.
c. Madrasah Baṣrah: Ulama sahabat yang termasyur di Baṣrah ialah Abu Musā al-Ash’ari dan Anas bin Mālik. Abu Musā al-Ash’ari adalah ahli fiqih dan ahli hadīth, serta ahli Al-Quran. Sedangkan Abbās bin Mālik termasyhur dalam ilmu hadīth. Al-Hasan Baṣry sebagai ahli fiqih, juga ahli pidato dan kisah, ahli fikir dan ahli tasawuf. Ia bukan saja mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada pelajar-pelajar, bahkan juga mengajar orang banyak dengan mengadakan kisah-kisah di masjid Baṣrah.
d. Madrasah Kufah: Madrasah Ibnu Mas’ud di Kufah melahirkan enam orang ulama besar, yaitu: ‘Alqamah, Al-Aswād, Masroq, ‘Ubaidah, Al-Hāris bin Qais dan ‘Amr bin Syurahbil. Mereka itulah yang menggantikan ‘Abdullah  bin Mas’ud menjadi guru di Kufah. Ulama Kufah, bukan saja belajar kepada ‘Abdullah  bin Mas’ud menjadi guru di Kufah. Ulama Kufah, bukan saja belajar kepada ‘Abdullah  bin Mas’ud, bahkan mereka pergi ke Madinah.
e. Madrasah Damsyik (Syam): Setelah negeri Syam (Syria) menjadi sebagian negara Islam dan penduduknya banyak memeluk agama Islam. Maka negeri Syam menjadi perhatian para Khilafah. Madrasah itu melahirkan imam penduduk Syam, yaitu ‘Abdurrahman al-Auza’iy yang sederajat ilmunya dengan Imam Mālik dan Abu Hanīfah. Madhabnya tersebar di Syam sampai ke Magrib dan Andalusia. Tetapi kemudian madhabnya itu lenyap, karena besar pengaruh madhab Syāfi’i dan Māliki.
f. Madrasah Fistat (Mesir): Setelah Mesir menjadi negara Islam ia menjadi pusat ilmu-ilmu agama. Ulama yang mula-mula madrasah di Mesir ialah ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘As, yaitu di Fisfat (Mesir lama). Ia ahli hadith dengan arti kata yang sebenarnya. Karena ia bukan saja menghafal hadith-hadith yang didengarnya dari Nabi Ṣalāllahu ‘alaihi wa sallam, melainkan juga dituliskannya dalam buku catatan, sehingga ia tidak lupa atau khilaf meriwayatkan hadith-hadith itu kepada murid-muridnya. Oleh karena itu banyak sahabat dan tabi’in meriwayatkan hadith-hadith dari padanya.
Karena pelajar-pelajar tidak mencukupkan belajar pada seorang ulama di negeri tempat tinggalnya, melainkan mereka melawat ke kota yang lain untuk melanjutkan ilmunya. Pelajar Mesir melawat ke Madinah, pelajar Madinah melawat ke Kufah, pelajar Kufah melawat Syam, pelajar Syam melawat kian kemari dan begitulah seterusnya. Dengan demikian dunia ilmu pengetahuan tersebar seluruh kota-kota di Negara Islam.[18]
2. Materi bidang ilmu pengetahuan.
Materi atau ilmu-ilmu agama yang berkembang pada zaman ini dapat dimasukan dalam kelompok Al-Ulumul Islāmiyyah yaitu ilmu-ilmu Al-Quran, Al-Hadist, Al-Fiqih, At-Tarīkh, Al-Ulumul Lisaniyyah dan Al-Jughrofiyah. Sedangkan Al-Ulumul Islamiyah dapat dibagi menjadi tiga bagian : Al-Ulumul Syar'iyah, yaitu ilmu-ilmu agama Islam; Al-Ulumul Lisaniyyah, yaitu ilmu-ilmu untuk memastikan bacaan Al-Quran, menafsirkan dan memahami Hadist At-Tarīkh wal Jughrofiyah.
a. Ilmu Qiraāt, yaitu ilmu cara membaca Al-Quran. Orang yang pandai membaca Al-Quran disebut Qurrā. Pada zaman ini pula yang memunculkan tujuh macam bacaan Al-Quran yang terkenal dengan " Qiraat sab’ah " yang kemudian ditetapkan menjadi dasar bacaan (Ushulul Lil Qira'ah). Pelopor bacaan ini terdiri dari kaum Malawy yaitu antara lain : ‘Abdullah bin Katsir, ‘Ashim bin Abu Nujud, ‘Abdullah bin Amir, ‘Ali bin Hamzah dan lain-lain.
b. Ilmu Tafsir, ilmu yang berusaha untuk memberikan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Quran dengan tujuan untuk menghasilkan hukum dan undang-undang. Ahli tafsir yang pertama yaitu Ibnu Abbās, seorang Ṣahabat terkenal yang wafat pada tahun 68 H. Menurut riwayat yang mutawatir beliau adalah orang yang pertama menafsirkan Al-Quran dengan cara riwayat dan isnad. Ahli tafsir lainnya adalah Mujāhid yang wafat pada tahun 109 H dan ulama Syi'ah yaitu Muḥammad al-Baqir bin ‘Ali bin Husain.
c. Ilmu Hadist, Untuk membantu di dalam memahami ayat-ayat Al-Quran. Karena terdapat banyak hadith maka timbullah usaha untuk mencari riwayat dan sanad yang hadist yang akhirnya menjadi Ilmu Hadith dengan segala cabang-cabangnya. Para ahli hadist yang terkenal pada zaman ini adalah: Abu Bakar bin Muḥammad bin ‘Ubaidillah bin Zihab az-Zuhri (123 H). Ibnu Abi Malikiyyah, yaitu ‘Abdullah bin Abi Malikiyyah (119 H). Pada masa khalifah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz barulah hadist dibukukan yang dirintis oleh Ibnu Zihab az-Zuhri yang kemudian disusul oleh ulama lain.
d. Ilmu Nahwu, yaitu ilmu tentang perubahan bunyi pada kata-kata yang terdapat di dalam Al-Quran. Pengarang ilmu nahwu yang pertama dan membukukannya seperti halnya sekarang, yaitu Abu Aswad ad-Dualy (W. 69 H). Beliau belajar dari ‘Ali bin Abi Ṭālib sehingga ada ahli sejarah yang mengatakan bahwa ‘Ali bin Abi Ṭālib adalah Bapak Ilmu Nahwu.
Sedangkan ilmu-ilmu yang di salin dari bahasa Asing ke dalam bahasa Arab dan di sempurnakan untuk kepentingan keilmuan umat Islam dikelompokan dalam Al-Ulumud Dākhilah yang terdiri dari :
a.    Ilmu Kimia. Khalifah Yazīdh bin Yazīdh bin Muawiyah adalah yang menyuruh penerjemahannya ke dalam bahsa Arab. Beliau mendatangkan beberapa orang Romawi yang bermukim di Mesir, di antaranya Maryanis seorang pendeta yang mengajarkan ilmu kimia. Penerjemahan ke dalam bahasa Arab dilakukan oleh Isthafun.
b.    Ilmu Bintang. Masih dalam masa Khālid bin Walīd, beliau sangat menggemari ilmu ini sehingga dikeluarkan sejumlah uang untuk mempelajari dan membeli alat-alatnya. Karena gemarnya setiap akan pergi ke medan perang selalu dibawanya ahli ilmu bintang.
c.    Ilmu Kedokteran. Penduduk Syam di zaman ini telah banyak menyalin bermacam ilmu ke dalam bahasa Arab seperti ilmu-ilmu kedokteran, mislanya karanganm Qis Ahrun dalam bahasa Suryani yang disalin ke dalam bahasa Arab oleh Masajuwaihi.

B. GERAKAN FILSAFAT
Gerakan filsafat muncul di akhir zaman Bani Umayyah untuk melawan pemikiran Yahudi dan Nasrani. Pemikiran teologis dari agama Kristen sudah berkembang lebih dulu sebelum datangnya Islam dan masuk ke lingkungan Islam secara sengaja untuk merusak akidah Islam. Karena itu timbul dalam Islam pemikiran yang bersifat teologis untuk menolak ajaran-ajaran teologis dari agama Kristen yang kemudian disebut Ilmu Kalam.
Ilmu kalam dalam perkembangannya menjadi ilmu khusus yang membahas tentang berbagai macam pola pemikiran yang berbeda dari ajaran Islam sendiri, karena dalam Al-Quran terdapat banyak ayat yang memerintahkan untuk membaca, berfikir, menggunakan akal dan sebagainya yang kesemuanya mendorong umat Islam, terutama para ahlinya untuk berfikir mengenai segala sesuatu guna mendapatkan kebenaran dan kebijaksnaan.

C. GERAKAN SEJARAH
Pada zaman Bani Umayyah gerakan sejarah menghasilkan tarīkh yang terbagi dalam dua bidang besar :
a.    Tarīkh Islam, yaitu tarīkh kaum muslimin dengan segala perjuangannya, riwayat hidup pemimpin-pemimpin mereka. Sumber tarīkh dalam bidang ini adalah dari amal perbuatan mereka sendiri.
b.    Tarīkh umum, yaitu tarikh bangsa-bangsa lain yang dipelajari dan disalin dengan sungguh-sungguh sejak zaman Bani Umayyah. Hal ini karena khalifah mereka termasuk orang-orang yang paling gemar untuk mengetahui orang-orang ternama dari tarīkh bangsa lain.[19]







BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
1.      Demikianlah gambaran umum tentang pola pendidikan Islam pada masa Bani Umayyah. Walaupun kecenderungan politik pemerintahan pada saat itu cenderung kepada perluasan wilayah Islam, namun Pemerintah masih menaruh perhatian dalam bidang pendidikan dan memberikan dorongan yang kuat terhadap dunia pendidikan dengan penyediaan sarana dan prasarana. Hal ini dilakukan agar para ilmuan, para seniman, dan para ulama mau melakukan pengembangan bidang ilmu yang dikuasainya serta mampu melakukan kaderisasi ilmu.
2.      Pada masa Bani Umayyah pola pendidikan bersifat desentrasi artinya pendidikan tidak hanya terpusat di Ibu Kota Negara saja tetapi sudah dikembangkan secara otonom di daerah yang telah dikuasai seiring dengan ekspansi teritorial.
3.      Sistem pendidikan ketika itu belum memiliki tingkatan dan standar umur. Pola pendidikan Islam pada periode Dinasti Umayyah telah berkembang bila dibandingkan pada masa Khulafā ar-Rāshidīn yang ditandai dengan semaraknya kegiatan ilmiah. Dengan penekanan ini didiajarkan beberapa macam ilmu Agama dan ilmu-ilmu lainnya.
4.      Diantara bentuk dan lembaga pendidikan pada masa Bani Umayyah adalah: Kuttab,  Masjid, Majelis Sastra, Pendidikan Istana, Pendidikan Badiah, Pendidikan Perpustakaan, Rumah Sakit.
5.      Pada zaman Bani Umayyah ada tiga gerakan yang berkembang, yaitu : Gerakan Ilmu Agama, karena didorong semangat agama sendiri yang sangat kuat pada waktu itu; Gerakan Filsafat, karena ahli agama di akhir Bani Umayyah mempergunakan filsafat untuk melawan Yahudi dan Naṣrani; Gerakan Sejarah, karena ilmui-ilmu agama memerlukan riwayat.




DAFTAR PUSTAKA

Badri, Yatim, Sejarah Peradaban Islam, cet. 22, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010).
Langgulung, Hasan, Pendidikan Islam Menghadapi Abad-21, (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1980)..
“Pendidikan Islam Masa Bani Umayyah (Filsafat Pend. Islam)” dalam http//pendidikan-islam-masa-bani-umayyah.htlm.,
Silsīlah Ta’līmi al-Lughoh al -‘Arobiyyah al-Mustawa ar-Rōbi’ ṣṵroh min at-Tarīkh al-Islamī,( Riyad: 1994).
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, cet.9, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008).
Maktabah syamilah




[1] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2008), hlm. 7.
[2] Silsīlah Ta’līmi al-Lughoh al -‘Arobiyyah al-Mustawa ar-Rōbi’ ṣṵroh min at-Tarīkh al-Islamī, hlm. 136-137.
[3] Yatim Badri., Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010),  hlm. 43.
[4] Ibid, hlm. 95.
[5] Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad-21, (Jakarta, Pustaka Al Husna, 1980), hlm. 17.
[6] Pendidikan Islam Masa Bani Umayyah (Filsafat Pend. Islam)” dalam http//pendidikan-islam-masa-bani-umayyah.htlm
[7] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 89-91
[8] Ibid, hlm. 91.
[9] Ibid, hlm. 99.
[10] Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad-21,  hlm. 19.
[11] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 95-96.
[12] Pendidikan Islam Masa Bani Umayyah (Filsafat Pend. Islam)” dalam http//pendidikan-islam-masa-bani-umayyah.
[13] Ibid, hlm. 92.
[14] Pendidikan Islam Masa Bani Umayyah (Filsafat Pend. Islam)” dalam http//pendidikan-islam-masa-bani-umayyah.
[15] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 97.
[16] Ibid, hlm. 98.
[17] Ibid, hlm. 98.
[18] Aqi Suro, “Pendidikan Islam Pada Masa BaniUmayyah” dalam pendidikan islam
[19] Lukman hakim, “Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam Masa Bani Umayyah